Klasifikasi dan Diagnosis dalam Gangguan Psikologis
Pendahuluan
Seperti halnya dalam dunia kesehatan fisik yang biasa dibahas
dalam dunia kedokteran, kesehatan mental juga memiliki panduan dan pedoman dalam
mengelompokkan penyakit atau dalam istilah psikologi adalah gangguan yang
terjadi pada seseorang. Dari pengelempokkan tersebut akan menjadi awal bagaiaman
tindak lanjut dan pengobatan yang tepat. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan
DSM dan PPDGJ pun disusun untuk membantu para psikiatri, psikolog, maupun
pelajar untuk dapat menentukan dan menindaklanjuti gangguan yang ada.
Sejarah
Diagnosis tentang kelaianan mental dan gangguan psikologis
mewakili lebih jauh dari pada hanya mengklasifikasi pola dari perilaku tidak
normal dengan dasar hal umum yang Nampak atau dari gejalanya saja. Perilaku
Abnormal telah diklasifikasikan jauh dari zaman dahulu kala. Hipkratos telah
mengelompokkan perilaku abnormal sesuai dengan teori miliknya yaitu Humors
(cairan vital tubuh). Meskipun demikian, teori tersebut terbukti masih banyak
kekurangan, klasifikasi milik Hipokratos tentang tipe masalah kesehatan mental
secara umum sesuai dengan kategori diagnosis dokter saat in. Penjelasannya
tentang Melankolik, sebagai contoh, sesuai dengan konspet depresi saat ini. saat
masa abad pertengahan, seseorang dengan kekuasaan mengklasifikasi perilaku
abnormal menjadi dua kelompok, yang diakibatkan oleh iblis dan disebabkan oleh
alam.
DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder)
Pada abad ke-19 ahli fisika jerman Emil Kraepelin menjadi teoris modern pertama
yang mengembangkan model komperhensif dari kalsifikasi yang berdasarkan pembeda
hal tampak, atau gejala, terkait dengan pola perilaku abnormal. Menjadi sistem
klasifikasi yang paling umum dipakai saat ini, yang paling luas penggunaannya
adalah Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM), diterbitkan
oleh APA (America Psychiatric Association). DSM pertama kali diperkenalkan pada
tahun 1952. Versi paling terbaru terbit pada tahun 2013, DSM-5 paling banyak
digunakan diseluruh Amerika. Dalam DSM pola Perilaku abnormal di klasifikasikan
sebagai gangguan mental. Gangguan mental meliputi stress emosional (biasanya
depresi dan kecemasan), secara signifikan mengganggu (susah menyelasaikan
pekerjaan kantor, dalam keluarga atau sosial). DSM tidak mengasumsikan perilaku
abnormal tidak melulu dari faktor biologis atau adanya kerusakan. DSM mengenali
bahwa kebanyakan faktor penyebab gangguan mental masih belum pasti. Sebagian
kelainan mungkin murni dari faktor biologi, dimana juga ada faktor psikologis
yang menyebabkannya. Tetap saja, faktor lain -tetapi tidak banyak- dijelaskan
dalam faktor yang majemuk, adanya interaksi dari faktor biologis, psikologis,
sosial (sosioekonomi, sosial-budaya, dan etnis), dan faktor lingkungan secara
fisik.
Kelebihan
DSM menggunakan istilah kelainan mental untuk mendeskrpisikan gejala klinis
(kumpulan gejala) termasuk tingkatan yang signifikan dari gangguan seseorang
dalam kognitifnya, emosional atau fungsi perilakunya. Pemeriksaan klinis
menentukan apakah gejala seseorang masuk kedalami kriteria DSM untuk gangguan
mental yang khusus. Diagnosis diberikan hanya ketika sedikitnya gejala muncul
untuk mempertemukan dengan kriteria diagnosis yang ditentukan. DSM berdasarkan
categorial model of classification, dalam artian bahwa penggiat kesejatan perlua
untuk mebuat kategori atau penilaian jenis (yes-no) tentang apakah kelainan itu
muncul dalam sebuah kasus tersebut. Kategori penilaian hal yang umum dalam
penyembuhan modern, seperti apakah seseorang mengalami kanker atau tidak.
Kekurangan
Banyak pengamat yang yakin DSM perlu untuk lebih peka akan pentingnya faktor
budaya dan etnis dalam penilaian diagnosis. Kita perlu memahami bahwa gejala
atau masalah perilaku sebagai kriteria diagnosis dalam DSM yang ditentukan dari
banyak psikiatri berpengalaman, psikolog, dan penggiat sosial.
PPDGJ (Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa)
Indonesia juga memiliki klasifikasi untuk mendiagnosis gangguan jiwa, kemudian
pemerintah menyusun panduan untuk ebantu klasifikasi gangguan kejiwaan yang
disebut PPDGJ atau Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa dan terbit pertama kali
di tahun 1973. Dengan tujuan yang beragam, dala bidang pelayanan kesehatan,
ditujukan untuk kodefikasi penyakit atau gangguan untuk statistik kesehatan,
keseragaman diagnosis klinis untuk tatalaksana terapi. Dalam bidang pendidikan
kedokteran untuk menyamakan konsep diagnosis gangguan jwa untuk komunikasi
akademik, dan dalam bidang penelitian sebagai batasan dan kriteria operasional
diagnosis gangguan jiwa, yang memungkinkan perbandingan data dan analisis
ilmiah. Perkembangan PPDGJ 1 pada tahun 1973 mencakup diagnosis yang mengacu
pada ICD 8 (International Clasification of disease 8) yang diterbitkan WHO,
PPDGJ 1 berisikan diagnosis jenis Mono-aksial. Kemudian berkembanga hingga tahun
1993 PPDGJ 3, dengan cakupan lebih luas seperti diagnosis multi-aksial, konsep
klasifikasi dengan hirarki blok memakai pedoman diagnosis ICD-10, dan diagnosis
multi aksial menurut DSM-IV.
Kelebihan
PPDGJ sangat membantu untuk memudahkan menentukan dan mendiagnosis gangguan
jiwa, dengan kelengkapan refrensi yang tidak hanya merujuk pada APA, namun juga
dari ICD. Didalamnya juga mendefinisikan istilah yang lebih sopan seperti,
istilah gangguan jiwa atau gangguan mental (mental disorder) , tidak mengenal
istilah penyakit jiwa (mental illness).
Kekurangan
Perlu adanya pembaharuan mengikuti perkembangan teknologi dan istilah baru yang
lebih familiar dizaman sekarang, apalagi PPDGJ terakhir dibuat pada tahun 1993.
Penyusunan juga harus lebih fleksibel dan mudah dimengerti. Karena penyusunan
yang terlalu rumit, akhirnya dibuat Rujukan Ringkas PPDGJ karena PPDGJ yang asli
masih sulit untuk dipahami. Ditambah masih menggunakan angka romawi yang
merupakan penulisan angka lawas.
Perbedaan
Walaupun keduanya memiliki kesamaan sebagai pedoman dan rujukan dalam
klasifikasi gangguan jiwa, namun ada beberapa perbedaan yang cukup jelas dari
keduanya. DSM merupakan rujukan yang disusun oleh APA (American Psychiatry
association) menggunakan bahasa Inggris dan PPDGJ mengunakan bahasa Indonesia.
PPDGJ masih menggunakan sistem multi-aksial sedangan DSM tidak menggunakan,Pada
pengkategorian penyakit ada perbedaan seperti kesurupan dan Homoseksual. Dalam
PPDGJ kesurupan bukan gangguan namun dalam DSM termasuk dala gangguan. Begitu
pula dengan Homoseksual dalam PPDGJ termasuk gangguan namun didalam DSM bukan
termasuk gangguan.
Bibliography
Association, A. P. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder
DSM 5. Washington DC, USA.: American Psychiatric Publishing.
Maslim, R. (2013).
Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta: PT. Nuh Jaya.
Nefid, J. S. (2018).
Abnormal Psychology in Changing World. New York: Pearson.
0 comments